BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1SHIGELLOSIS
2.1.1DEFINISI
Disentri basiler, shigellosis adalah infeksi akut yang mengakibatkan radang
pada kolon, yang disebabkan kuman genus Shigella, yang ditandai gejala diare,
adanya lendir dan darah dalam tinja, serta nyeri perut dan tenesmus
(Tjokroprawiro, 2007).
2.1.2EPIDEMIOLOGI
Shigellosis terjadi di seluruh dunia dan merupakan penyebab tersering
ketiga diare bakterial di negara maju (Mandal, 2004). Disentri basiler
terdapat, terutama di negara sedang berkembang dengan lingkungan yang kurang
dan penghuni yang padat. Disentri mudah menyebar pada kondisi lingkungan yang
jelek (Tjokroprawiro, 2007). Di dunia sekurangnya 200 juta kasus dan 650.000
kematian terjadi akibat disentri basiler pada anak-anak di bawah umur
5 tahun. Di Amerika Serikat, insidensi penyakit ini rendah. Setiap tahunnya
kurang dari 500.000 kasus yang dilaporkan ke Centres for Disease
Control and Prevention (CDC). Hasil penelitian yang dilakukan di berbagai
rumah sakit di Indonesia dari Juni 1998 sampai dengan Nopember 1999, dari 3848
orang penderita diare berat, ditemukan 5% bakteri shigella (Sudoyo, 2007).
Setiap tahun, sekitar 14.000 kasus Shigellosis dilaporkan di Amerika
Serikat. Karena banyak kasus ringan yang tidak didiagnosis atau dilaporkan,
jumlah infeksi mungkin dua puluh kali lebih besar (CDC, 2009).
2.1.3ETIOLOGI
Disentri basiler atau shigellosis disebabkan kuman genus Shigella. Shigella
adalah basil nonmotil, gram negatif, famili enterobacteriaceae. ada 4 spesies
shigella yaitu S. dysenteriae, S. flexneri, S. boydii, dan S. sonnei.
Terdapat 43 serotipe O dari shigella. S. sonnei adalah satu-satunya spesies
yang memiliki serotipe tunggal (Sudoyo, 2007). Dengan pengecualian S.
sonnei, masing-masing spesies dapat dibagi lagi menjadi serotipe
berdasarkan reaktivitas dengan serum hiperimun: S. dysenteriae (15
serotipe), S. flexneri (6 serotipe dan 2 varian), & S.
boydii (20 serotipe) (serotypingshigella) (WHO, 2010). Jumlah
bakteri yang diperlukan untuk menginfeksi rendah(10-100 organisme)
(Mandal, 2004).
2.1.4PATOGENESIS
Shigella masuk ke dalam tubuh per oral. Karena mampu bertahan terhadap pH
rendah, ia dengan mudah melewati asam lambung. Terjadi invasi sel epitel kolon,
yang diawali dengan melekatnya bakteri, masuk sel dengan cara endositosis dan berada
di sitoplasma. Multiplikasi intraseluler menyebabkan kerusakan dan kematian sel
yang akan berakibat ulserasi mukosa. Sifat penting lain adalah kemampuan
membuat enterotoksin. Toksin berperan atas patogenesis komplikasi
mikroangiopati, hemolytic uremic syndrome, thrombotic
thrombocytopenic purpura. Enterotoksin lain menyebabkan gangguan
transportasi elektrolit dan menyebabkan sekresi cairan ke lumen usus.
Pada shigellosis permukaan epitel mengalami ulserasi yang ekstensif. Dengan
eksudat terdiri dari sel kolon yang terkelupas, leukosit PMN, eritrosit. Lamina
propria mengalami edema dan hemoragik, serta mengalami infiltrasi neutrofil dan
sel plasma. Ulserasi pada tempat tertentu menyerupai pseudomembran. Perubahan
histologi diduga akibat endotoksin kuman. Imunitas dapat timbul dan bersifat
serotipe spesifik (Tjokroprawiro, 2007).
2.1.5MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas dari beberapi jam-3 hari. Mulai gejala awal sampai
timbulnya gejala khas biasanya cepat. Gejala yang khas adalah
defekasi sedikit-sedikit, terus menerus, sakit perut kolik,
tenesmus, muntah-muntah. Suhu badan tinggi, sakit kepala, nadi cepat.
Sakit perut dirasakan di sebelah kiri. Tinja biasanya encer, berlendir,
warnakemerah-merahan atau lendir bening, dan berdarah. Pada pemeriksaan
mikroskopis tinja dijumpai sel darah putih, sel darah merah, sel makrofag.
Pada bentuk yang berat fulminan dijumpai tanda dehidrasi dan bisa terjadi
renjatan septik. Daerah anus terdapat luka,
nyeri, kadang-kadang prolaps. Hemoroid yang ada sebelumnya mungkin
muncul keluar. Kematian karena :
1.gangguan sirkulasi
perifer, anuria, koma uremikum
2.sering pada malnutrisi,
kelaparan (Tjokroprawiro, 2007).
Pada lebih dari setengah
kasus pada orang dewasa, demam dan diare menghilang spontan
dalam 2-5 hari. Namun, pada anak-anak dan lanjut usia,
kehilangan air dan elektrolit dapat menimbulkan dehidrasi, asidosis dan bahkan
kematian. Penyakit yang disebabkan oleh S. dysenteriae kadang-kadang dapat
sangat parah.
Pada pemulihan, kebanyakan orang mengeluarkan basil disentri dalam waktu
singkat, tetapi beberapa orang tetap menjadi carrier usus
kronik dan dapat mengalami serangan penyakit secara berulang. Setelah sembuh
dari infeksi, kebanyakan orang membentuk antibodi sirkulasi terhadap shigella,
tetapi antibodi ini tidak mencegah terjadinya infeksi ulang (Jawtez, 2008).
2.1.6KOMPLIKASI
Dapat timbul komplikasi
shigellosis:
1.Ekstraintestinal
terutama oleh S. dysenteriae tipe 1, S. flexneri
2.Bakteremia pada AIDS
3.Artritis: masa
penyembuhan, sendi besar (lutut)
4.Neuritis perifer,
iritis, iridosiklitis, peritonitis jarang.
Hemolytic Uremic
Syndrome (HUS) dapat timbul akibat infeksi oleh S. dysenteriae tipe 1,
dengan gejala:
1.Oligouria, anuria yang
progresif, gagal ginjal
2.Penurunan hematokrit,
anemia progresif
3.Reaksi leukomoid,
trombositopenia
4.Hiponatremia,
hipoglikemia
5.Gejala susunan saraf
pusat, ensefalopatia, perubahan kesadaran. (Tjokroprawiro, 2007).
2.1.7PENGOBATAN
Pasien perlu
istirahat, mencegah-memperbaiki dehidrasi. Penyebab kematian terutama
akibat dehidrasi. Untuk rehidrasi dapat dipakai cairan intravena/oral, sesuai
derajat dehidrasi. Perbaikan gizi untuk menghilangkan malnutrisi. Untuk
pengobatan antibakterial:
1.Pilihan trimethoprim
sulfamethoxazole 2x2 tablet selama 5 hari
2.Siprofloksasin 2x500-750 mg
3.Ampisilin 4x500 mg
4.Asam nalidiksik (Tjokroprawiro, 2007).
Trimethoprim
sulfamethoxazole
Trimethoprim yang diberikan bersama dengan sulfonamid menghasilkan hambatan
yang beruntun dalam jalur metabolik, menyebabkan peningkatan (sinergisme)
aktivitas kedua obat.
Secara farmakokinetik, trimethoprim biasanya diberikan per oral, tunggal
atau dalam kombinasi dengan sulfametoksazol. Sulfonamid ini dipilih karena
memiliki waktu paruh yang sama. Kombinasi terakhir ini dapat juga diberikan
secara intravena. Karena trimethoprim lebih bersifat larut dalam lipid daripada
sulfametoksazol, maka trimetoprim memiliki volume distribusi yang lebih besar
dibandingkan dengan sulfametoksazol. Karena itu bila 1 bagian dari trimetoprim
diberikan dengan 5 bagian sulfametoksazol (rasio dalam formulasi), konsentrasi
puncak dalam plasma berada dalam rasio 1:20, yang opimal untuk efek kombinasi
dari obat ini in vitro (Katzung, 1998) Sulfonamid tidak lagi merupakan obat
terpilih untuk disentri basiler karena banyak strain yang telah resisten.
Dampak dari trimethoprim menghasilkan efek samping
dari obat-obatanantifolat yang dapat diramalkan, terutama anemia
megaloblastik, leukopenia, dan granulositopenia.
Kombinasi trimethoprim-sulfametoksazol dapat menyebabkan semua reaksi
tidak menguntungkan yang berkaitan dengan sulfonamid. Kadang- kadang, terdapat
juga mual dan muntah, demam obat, vaskulitis, kerusakan ginjal, atau gangguan
susunan saraf puat. Pasien AIDS dan pneumonia Pneumosistis terutama
mempunyai frekuensi tidak menguntungkan yang tinggi
terhadap trimethoprim-sulfametoksazol,terutama demam, rashes,
leukopenia, dan diare (Katzung, 1998).
Siprofloksasin
Siprofloksasin merupakan golongan fluorokuinolon yang dapat digunakan untuk
infeksi sistemik. Golongan fluorokuinolon menghambat kerja enzim DNA girase
pada kuman dan bersifat bakterisidal. Mekanisme resistensi melalui plasmid
seperti yang banyak terjadi pada antibiotika lain tidak dijumpai pada golongan
kuinolon (golongan kuinolon baru yang beratom fluor pada cincin kuinolon adalah
fluorokuinolon), namun dapat terjadi dengan mekanisme mutasi pada DNA atau
membran sel kuman. Golongan fluorokuinolon aktif sekali terhadap
enterobacteriaceae termasuk Shigella. Berbagai kuman yang telah resisten terhadap
aminoglikosida dan betalaktam ternyata masih peka terhadap fluorokuinolon.
Secara farmakokinetik, fluorokuinolon diserap dengan cepat melalui saluran
cerna. Semua fluorokuinolon mencapai kadar puncaknya dalam 1- 2 jam setelah
pemberian obat. Penyerapan siprofloksasin terhambat bila diberikan bersama
antasida. Siprofloksasin dapat mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal
bila ada meningitis. Efek samping golongn obat ini yang trepenting adalah pada
saluran cerna dan susunan saraf pusat. Manifestasi pada saluran cerna, terutama
berupa mual dan hilang nafsu makan, merupakan efek samping yang paling sering
dijumpai. Fluorokuinolon jarang menimbulkan ganguan keseimbangan flora usus
bila dibandingkan dengan antimikroba lain yang berspektrum luas. Efek samping
pada susunan saraf pusat umumnya bersifat ringan berupa sakit kepala, vertigo,
dan insomnia (Ganiswara, 1995).
Ampisilin
Ampisilin merupakan salah satu golongan penisilin yang serupa denganpenisilin G (dihancurkan
dengan β-laktamase) tetapi stabil terhadap asam dan lebih aktif terhadap
bakteri gram negatif. Penisilin dinamakan obat beta laktam karena mempunyai
cincin laktam. Obat beta-laktam mempunyai mekanisme kerja antibakteri
yang secara umum menyebabkan kerusakan dinding sel bakteri. Secara singkat,langkah-langkah tersebut
yaitu (1) perlekatan pada protein mengikat penisilin yang spesifik (PBPs) yang
berlakun sebagai obat reseptor pada bakteri, (2) penghambatan sintesis dinding
sel dengan menghambat transpeptidase dari peptidoglikan, dan (3) pengaktifan
enzim autolitik di dalam dinding sel, yang menghasilkan kerusakan sehingga
akibatnya bakteri mati (Katzung, 1998).
Ampisilin dapat diberikan oral untuk mengobati infeksi saluran kemih oleh
baktri koli (Jawetz, 1996). Secara farmakokinetik, jumlah ampisilin dan senyawa
sejenisnya yang diabsorbsi pada pemberian oral dipengaruhi besarnya dosis dan
ada tidaknya makanan dalam saluran cerna. Dengan dosis lebih kecil persentase
yang diabsorpsi relatif lebih besar. Adanya makanan dalam saluran cerna akan menghambat
absorpsi obat.
Reaksi alergi merupakan bentuk efek samping yang terserig dijumpai pada
golongan penisilin. Reaksi alergi yang paling sering terjadi adalah kemerahan
kulit. Ampisilin dapat menimbulkan nefropati yang ada hubungannya dengan kadar
obat yang tinggi dalam serum (Ganiswara, 1995).
Asam Nalidiksat
Asam nalidiksat aadalah prototip golongan kuinolon lama yang mempunyai daya
antibakteri yang baik terhadap kuman gram negative, tetapi eliminasinya melalui
urin berlangsung terlalu cepat sehingga sulit dicapai kadar terapeutik dalam
darah.
Kristal asam nalidiksat berupa bubuk putih atau kuning muda. Secara
farmakokinetik, pada pemberian per oral, 96% obat akan diserap. Konsentrasinya
dalam plasma kira-kira 20-50 µg/ml, tetapi 95% terikat dengan protein
plasma. Dalam tubuh, sebagian dari obat ini akan diubah menjadi asam
hidroksinalidiksat yang juga mempunyai daya antimikroba. Pemberian asam
nalidiksat secara per oralkadang-kadang menimbulkan mual, muntah, ruam
kulit dan urtikaria. Diare, demam, eosinofilia dan
fotosensitivitas kadang-kadang timbul. Asam nalidiksat tidak boleh
diberikan pada bayi kurang dari 3 bulan dan juga pada trimester pertama
kehamilan. Daya antibakterinya akan berkurang bila diberikan bersama
nitrofurantoin (Ganiswara, 1995).
Pengobatan simtomatis: untuk demam (antipiretik), nyeri perut
(antispasmodik). Pemakaian obat antimotilitas (misalnya loperamide) bersifat
kontroversi, dapat mengurangi diare, namun dapat menyebabkan penyakit lebih
berat karena mengurangi pengeluaran bakteri, mempermudah invasi mukosa serta timbulnya
toksik megakolon. Pada bentuk berat apabila tidak diobati dini angka kematian
shigellosis tinggi. Infeksi oleh S. dysenteriae biasanya
berat, penyembuhan lama. Infeksi S. flexneri angka kematian
rendah
Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigellosis pasien diobati
dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan,
terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan antibiotika diganti
dengan jenis yang lain. Jika dengan pengobatan dengan antibiotika yang kedua
pasien tidak menunjukkan perbaikan diagnosis harus ditinjau ulang dan dilakukan
pemeriksaan mikroskop tinja, kultur, dan resistensi mikroorganisme.
Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dan
tetrasiklin, hampir universal terjadi dan banyak shigella saat ini resisten
terhadap ampisilin dan sulfametoksazol.
Situasi pada setiap wabah penyakit ini menimbulkan resistensi
yangberbeda-beda, karena itu pada wabah sebaiknya disiapkan obat khusus
yang hanya diberikan pada pasien-pasien yang gawat. Sangat ideal bila
pada setiap kasus dilakukan uji resistensi terhadap kuman penyebabnya, tetapi
tindakan ini mengakibatkan pengobatan dengan antibiotika jadi tertunda (Sudoyo,
2007).
2.2Shigella
dysenteriae
2.2.1KLASIFIKASI
Divisio : Monomychota
Subdivisio
:
|
Schizomycetea
|
Clasiss
|
:
|
Schizomycetes
|
Ordo
|
:
|
Eubacteriales
|
15
Familia
|
:
|
Enterobacteriaceae
|
Tribe
|
:
|
Eschericeae
|
Genus
|
:
|
Shigella
|
Species
|
:
|
Shigella
dysenteriae
|
(Fajariah, 2009)
2.2.2 MORFOLOGI DAN IDENTIFIKASI
2.2.2.1 CIRI KHAS SHIGELLA
Shigella adalah batang gram-negatif yang ramping; bentuk
kokobasil ditemukan pada biakan yang muda.
2.2.2.2 BIAKAN
Shigella bersifat fakultatif anaerob tetapi tumbuh paling baik secara
aerob. Koloni bebrbentuk konveks, bulat, transparan dengan tepi yang utuh dan
mencapai diameter sekitar 2 mm dalam 24 jam.
2.2.2.3 SIFAT
PERTUMBUHAN
Semua Shigella memfermentasikan glukosa. Kecuali Shigella sonnei, shigella
tidak memfermentasikan laktosa. Ketidakmampuannya memfermentasikan laktosa
membedakan shigella pada medium diferensial. Shigella membentuk asam dari
karbohidrat tetapi jarang menghasilkan gas. Organisme ini dapat dibagi menjadi
organisme yang memfermentasikan manitol dan tidak memfermentasikan manitol.
2.2.3STRUKTUR ANTIGEN
|
Shigella
memiliki struktur antigen yang kompleks. Terdapat banyak
|
|
tumpang
tindih pada sifat serologik berbagai spesies, dan sebagian besar
|
|
organisme
memiliki antigen O yang sama dengan basil enterik yang lain.
|
|
Antigen O somatic
shigella adalah lipopolisakarida. Spesifitas
|
|
serologiknya
bergantung pada polisakarida. ada lebih dari 40 serotipe.
|
|
Klasifikasi
shigella berdasarkan pada karakteristik biokimiawi dan antigennya.
|
2.2.4
|
TOKSIN
|
2.2.4.1
|
ENDOTOKSIN
|
|
Pada autolysis,
semua shigella melepaskan lipopolisakarida yang toksik.
|
|
Endotoksin
ini kemungkinan yang menimbulkan iritasi pada dinding usus.
|
2.2.4.2EKSOTOKSIN Shigella
dysenteriae
S.dysenteriae tipe I (basil Shiga) menghasilkan eksotoksin yang
tidak tahan panas yang dapat mengenai usus dan sistem saraf pusat. Eksotoksin
ini adalah protein yang bersifat antigenik (merangsang produksi antitoksin) dan
bersifat mematikan untuk hewan percobaan. Sebagai enterotoksin, zat ini
menimbulkan diare seperti verotoksinE. coli, mungkin melalui mekanisme
yang sama. Pada manusia, enterotoksin juga menghambat absorbsi gula dan asam
amino di usus halus. Sebagai “neurotoksinâ€, materi ini menyebabkan
infeksi S. dysenteriae yang sangat berat dan fatal serta
menimbulkan reaksi susunan saraf
pusat yang berat (misalnya meningismus, koma). Pasien yang menderita
infeksi
Shigella flexneri atau Shigella
sonnei membentuk antitoksin yang menetralisir eksotoksin S.
dysenteriae secara in vitro. Aktivitas yang bersifat toksik ini berbeda
dengan sifat invasiv shigella pada disentri. keduanya dapat bekerja berurutan,
toksin menyebabkan diare awal yang tidak berdarah, encer, dan banyak kemudian
invasi usus besar mengakibatkan disentri lanjut dengan feses yang disertai
dengan darah dan nanah (Jawetz, 2008).
2.2.5MEKANISME
RESISTENSI
Sebagian besar resistensi obat pada bakteri usus disebabkan oleh perluasan
penularan plasmid resistensi pada berbagai genus. Pada saat ini banyak tempat di
duniakira-kira separuh strain Shigella sp. resisten terhadap obat. Shigella
dysenteriae type 1, resistan terhadap asam nalidiksat seperti
pada co-trimoxazole(trimethoprim-sulfametoksazol) dan ampisilin
(Munshi, 1987). Trimetoprim- sulfametoksazol agaknya masih efektif pada
pemberian per oral, meskipun di beberapa tempat telah terjadi resistensi
(Ganiswara, 1995). Trimethoprim, suatu trimetoksibenzilpirimidin, menghambat
asam dihidrofolat reduktase bakteri kira- kira 50.000 kali lebih efisien
daripada enzim yang sama dari sel mamalia. Asam dihidrofolat reduktase adalah
enzim yang mengubah asam dihidrofolat menjadi asam tetrahirofolat, suatu
langkah yang mengarah ke sintesis purin dan akhirnya menjadi DNA.
Mikroorganisme yang kekurangan langkah yang dihambat oleh trimethoprim
(dihidrofolat reduktase) dapat muncul dengan mutasi atau dengan transmisi
secara konjugasi dari plasmid. Plasmid seperti ini yang menginduksi resistensi
trimetropim terhadap bakteri koliform. (Katzung, 1998).
Sejak penisilin mulai digunakan jenis mikroba yang tadinya sensitif makin
banyak yang menjadi resisten. Mekanisme resisten terhadap penisilin ialah:
1.Pembentukan enzim beta-laktamase misalnya pada kuman S.
aureus, H. influenza, gonokokus dan berbagai batang gram negatif.
Kebanyakan jenis betalaktamase dihasilkan oleh kuman melalui kendali genetik
oleh plasmid.
2.Enzim autolisin kuman tidak bekerja sehingga timbul sifat toleran kuman
terhadap obat.
3.Kuman tidak mempunyai
dinding sel (misalnya mikoplasma).
4.Perubahan Penicillin Binding Protein (PBP) atau obat
tidak dapat mencapai PBP.
Asam nalidiksat bekerja
dengan menghambat enzim DNA girase bakteri
dan biasanya bersifat
bakterisid terhadap kebanyakan kuman patogen penyebab infeksi saluran kemih.
Resistensi terhadap asam nalidiksat tidak dipindahkan melalui plasmid (faktor
R), tetapi dengan mekanisme lain. Resistensi terhadap asam nalidiksat telah
menimbulkan masalah klinik (Ganiswara, 2007).
2.2.6 UJI DIAGNOSTIK
LABORATORIUM 2.2.6.1 SPESIMEN
Feses segar, lendir, dan usapan rectum dapat digunakan untuk biakan.
Ditemukan banyak leukosit pada feses dan kadang-kadang juga ditemukan
beberapa sel darah merah pada pemeriksaan mikroskopik. Spesimen serum, apabila
dibutuhkan, harus diambil dengan jarak 10 hari untuk melihat kenaikan titer antibodi
aglutinasi.
2.2.6.2 BIAKAN
Bahan digoreskan pada medium diferensial (misalnya, agar MacConkey atau
EMB) dan pada medium selektif (agar enteric Hektoen atau agar salmonella-shigella) yang
menekan Enterobacteriaceae lain dan organisme gram positif.
Koloni yang tidak berwarna (laktosa-negatif) diinokulasi pada agar
triplet gula besi. Organisme yang tidak menghasilkan H2S, yang menghasilkan asam tetapi tidak menghasilkan gas pada pangkal dan
bagian miring pada yang basa di medium agar triplet gula besi, dan tidak motil
sebaiknya dilakukan pemeriksaan aglutinasi slidedengan antiserum
spesifik shigella.
2.2.6.3 SEROLOGI
Orang normal sering memiliki aglutinin terhadap beberapa spesies shigella.
Namun, serangkaian penentuan titer antibodi dapat menunjukkan peningkatan
antibodi yang spesifik. Serologi tidak digunakan untuk mendiagnosis infeksi
shigella (Jawetz, 2008).
2.2.7IMUNITAS
Infeksi diikuti oleh respons antibodi tipe spesifik. Injeksi shigella yang
telah mati merangsang produksi antibodi di serum tetapi tidak dapat melindungi
manusia dari infeksi. Antibodi IgA di usus mungkin penting dalam membatasi
infeksi ulang; antibodi ini dapat distimulasi dengan pemberian strain shigella
hidup yang telah dilemahkan melalui oral seperti vaksin percobaan. Antibodi serum
terhadap antigen somatik shigella adalah IgM (Jawetz, 2008).