Jumat, 19 September 2014

SHIGELLOSIS

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1SHIGELLOSIS
2.1.1DEFINISI
Disentri basiler, shigellosis adalah infeksi akut yang mengakibatkan radang pada kolon, yang disebabkan kuman genus Shigella, yang ditandai gejala diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, serta nyeri perut dan tenesmus (Tjokroprawiro, 2007).
2.1.2EPIDEMIOLOGI
Shigellosis terjadi di seluruh dunia dan merupakan penyebab tersering ketiga diare bakterial di negara maju (Mandal, 2004). Disentri basiler terdapat, terutama di negara sedang berkembang dengan lingkungan yang kurang dan penghuni yang padat. Disentri mudah menyebar pada kondisi lingkungan yang jelek (Tjokroprawiro, 2007). Di dunia sekurangnya 200 juta kasus dan 650.000 kematian terjadi akibat disentri basiler pada anak-anak di bawah umur 5 tahun. Di Amerika Serikat, insidensi penyakit ini rendah. Setiap tahunnya kurang dari 500.000 kasus yang dilaporkan ke Centres for Disease Control and Prevention (CDC). Hasil penelitian yang dilakukan di berbagai rumah sakit di Indonesia dari Juni 1998 sampai dengan Nopember 1999, dari 3848 orang penderita diare berat, ditemukan 5% bakteri shigella (Sudoyo, 2007).
Setiap tahun, sekitar 14.000 kasus Shigellosis dilaporkan di Amerika Serikat. Karena banyak kasus ringan yang tidak didiagnosis atau dilaporkan, jumlah infeksi mungkin dua puluh kali lebih besar (CDC, 2009).
2.1.3ETIOLOGI
Disentri basiler atau shigellosis disebabkan kuman genus Shigella. Shigella adalah basil nonmotil, gram negatif, famili enterobacteriaceae. ada 4 spesies shigella yaitu S. dysenteriae, S. flexneri, S. boydii, dan S. sonnei. Terdapat 43 serotipe O dari shigella. S. sonnei adalah satu-satunya spesies yang memiliki serotipe tunggal (Sudoyo, 2007). Dengan pengecualian S. sonnei, masing-masing spesies dapat dibagi lagi menjadi serotipe berdasarkan reaktivitas dengan serum hiperimun: S. dysenteriae (15 serotipe), S. flexneri (6 serotipe dan 2 varian), & S. boydii (20 serotipe) (serotypingshigella) (WHO, 2010). Jumlah bakteri yang diperlukan untuk menginfeksi rendah(10-100 organisme) (Mandal, 2004).
2.1.4PATOGENESIS
Shigella masuk ke dalam tubuh per oral. Karena mampu bertahan terhadap pH rendah, ia dengan mudah melewati asam lambung. Terjadi invasi sel epitel kolon, yang diawali dengan melekatnya bakteri, masuk sel dengan cara endositosis dan berada di sitoplasma. Multiplikasi intraseluler menyebabkan kerusakan dan kematian sel yang akan berakibat ulserasi mukosa. Sifat penting lain adalah kemampuan membuat enterotoksin. Toksin berperan atas patogenesis komplikasi mikroangiopati, hemolytic uremic syndromethrombotic thrombocytopenic purpura. Enterotoksin lain menyebabkan gangguan transportasi elektrolit dan menyebabkan sekresi cairan ke lumen usus.
Pada shigellosis permukaan epitel mengalami ulserasi yang ekstensif. Dengan eksudat terdiri dari sel kolon yang terkelupas, leukosit PMN, eritrosit. Lamina propria mengalami edema dan hemoragik, serta mengalami infiltrasi neutrofil dan sel plasma. Ulserasi pada tempat tertentu menyerupai pseudomembran. Perubahan histologi diduga akibat endotoksin kuman. Imunitas dapat timbul dan bersifat serotipe spesifik (Tjokroprawiro, 2007).
2.1.5MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas dari beberapi jam-3 hari. Mulai gejala awal sampai timbulnya gejala khas biasanya cepat. Gejala yang khas adalah defekasi sedikit-sedikit, terus menerus, sakit perut kolik, tenesmus, muntah-muntah. Suhu badan tinggi, sakit kepala, nadi cepat. Sakit perut dirasakan di sebelah kiri. Tinja biasanya encer, berlendir, warnakemerah-merahan atau lendir bening, dan berdarah. Pada pemeriksaan mikroskopis tinja dijumpai sel darah putih, sel darah merah, sel makrofag.
Pada bentuk yang berat fulminan dijumpai tanda dehidrasi dan bisa terjadi renjatan septik. Daerah anus terdapat luka, nyeri, kadang-kadang prolaps. Hemoroid yang ada sebelumnya mungkin muncul keluar. Kematian karena :
1.gangguan sirkulasi perifer, anuria, koma uremikum
      2.sering pada malnutrisi, kelaparan (Tjokroprawiro, 2007).
Pada lebih dari setengah kasus pada orang dewasa, demam dan diare menghilang spontan dalam 2-5 hari. Namun, pada anak-anak dan lanjut usia, kehilangan air dan elektrolit dapat menimbulkan dehidrasi, asidosis dan bahkan kematian. Penyakit yang disebabkan oleh S. dysenteriae kadang-kadang dapat sangat parah.
Pada pemulihan, kebanyakan orang mengeluarkan basil disentri dalam waktu singkat, tetapi beberapa orang tetap menjadi carrier usus kronik dan dapat mengalami serangan penyakit secara berulang. Setelah sembuh dari infeksi, kebanyakan orang membentuk antibodi sirkulasi terhadap shigella, tetapi antibodi ini tidak mencegah terjadinya infeksi ulang (Jawtez, 2008).
2.1.6KOMPLIKASI
Dapat timbul komplikasi shigellosis:
1.Ekstraintestinal terutama oleh S. dysenteriae tipe 1, S. flexneri
2.Bakteremia pada AIDS
3.Artritis: masa penyembuhan, sendi besar (lutut)
4.Neuritis perifer, iritis, iridosiklitis, peritonitis jarang.
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS) dapat timbul akibat infeksi oleh S. dysenteriae tipe 1, dengan gejala:
1.Oligouria, anuria yang progresif, gagal ginjal
2.Penurunan hematokrit, anemia progresif
3.Reaksi leukomoid, trombositopenia
4.Hiponatremia, hipoglikemia
5.Gejala susunan saraf pusat, ensefalopatia, perubahan kesadaran. (Tjokroprawiro, 2007).
2.1.7PENGOBATAN
Pasien perlu istirahat, mencegah-memperbaiki dehidrasi. Penyebab kematian terutama akibat dehidrasi. Untuk rehidrasi dapat dipakai cairan intravena/oral, sesuai derajat dehidrasi. Perbaikan gizi untuk menghilangkan malnutrisi. Untuk pengobatan antibakterial:
1.Pilihan trimethoprim sulfamethoxazole 2x2 tablet selama 5 hari
2.Siprofloksasin 2x500-750 mg
3.Ampisilin 4x500 mg
      4.Asam nalidiksik (Tjokroprawiro, 2007).
Trimethoprim sulfamethoxazole
Trimethoprim yang diberikan bersama dengan sulfonamid menghasilkan hambatan yang beruntun dalam jalur metabolik, menyebabkan peningkatan (sinergisme) aktivitas kedua obat.
Secara farmakokinetik, trimethoprim biasanya diberikan per oral, tunggal atau dalam kombinasi dengan sulfametoksazol. Sulfonamid ini dipilih karena memiliki waktu paruh yang sama. Kombinasi terakhir ini dapat juga diberikan secara intravena. Karena trimethoprim lebih bersifat larut dalam lipid daripada sulfametoksazol, maka trimetoprim memiliki volume distribusi yang lebih besar dibandingkan dengan sulfametoksazol. Karena itu bila 1 bagian dari trimetoprim diberikan dengan 5 bagian sulfametoksazol (rasio dalam formulasi), konsentrasi puncak dalam plasma berada dalam rasio 1:20, yang opimal untuk efek kombinasi dari obat ini in vitro (Katzung, 1998) Sulfonamid tidak lagi merupakan obat terpilih untuk disentri basiler karena banyak strain yang telah resisten.
Dampak dari trimethoprim menghasilkan efek samping dari obat-obatanantifolat yang dapat diramalkan, terutama anemia megaloblastik, leukopenia, dan granulositopenia. Kombinasi trimethoprim-sulfametoksazol dapat menyebabkan semua reaksi tidak menguntungkan yang berkaitan dengan sulfonamid. Kadang- kadang, terdapat juga mual dan muntah, demam obat, vaskulitis, kerusakan ginjal, atau gangguan susunan saraf puat. Pasien AIDS dan pneumonia Pneumosistis terutama mempunyai frekuensi tidak menguntungkan yang tinggi terhadap trimethoprim-sulfametoksazol,terutama demam, rashes, leukopenia, dan diare (Katzung, 1998).
Siprofloksasin
Siprofloksasin merupakan golongan fluorokuinolon yang dapat digunakan untuk infeksi sistemik. Golongan fluorokuinolon menghambat kerja enzim DNA girase pada kuman dan bersifat bakterisidal. Mekanisme resistensi melalui plasmid seperti yang banyak terjadi pada antibiotika lain tidak dijumpai pada golongan kuinolon (golongan kuinolon baru yang beratom fluor pada cincin kuinolon adalah fluorokuinolon), namun dapat terjadi dengan mekanisme mutasi pada DNA atau membran sel kuman. Golongan fluorokuinolon aktif sekali terhadap enterobacteriaceae termasuk Shigella. Berbagai kuman yang telah resisten terhadap aminoglikosida dan betalaktam ternyata masih peka terhadap fluorokuinolon. Secara farmakokinetik, fluorokuinolon diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Semua fluorokuinolon mencapai kadar puncaknya dalam 1- 2 jam setelah pemberian obat. Penyerapan siprofloksasin terhambat bila diberikan bersama antasida. Siprofloksasin dapat mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal bila ada meningitis. Efek samping golongn obat ini yang trepenting adalah pada saluran cerna dan susunan saraf pusat. Manifestasi pada saluran cerna, terutama berupa mual dan hilang nafsu makan, merupakan efek samping yang paling sering dijumpai. Fluorokuinolon jarang menimbulkan ganguan keseimbangan flora usus bila dibandingkan dengan antimikroba lain yang berspektrum luas. Efek samping pada susunan saraf pusat umumnya bersifat ringan berupa sakit kepala, vertigo, dan insomnia (Ganiswara, 1995).
Ampisilin
Ampisilin merupakan salah satu golongan penisilin yang serupa denganpenisilin G (dihancurkan dengan Î²-laktamase) tetapi stabil terhadap asam dan lebih aktif terhadap bakteri gram negatif. Penisilin dinamakan obat beta laktam karena mempunyai cincin laktam. Obat beta-laktam mempunyai mekanisme kerja antibakteri yang secara umum menyebabkan kerusakan dinding sel bakteri. Secara singkat,langkah-langkah tersebut yaitu (1) perlekatan pada protein mengikat penisilin yang spesifik (PBPs) yang berlakun sebagai obat reseptor pada bakteri, (2) penghambatan sintesis dinding sel dengan menghambat transpeptidase dari peptidoglikan, dan (3) pengaktifan enzim autolitik di dalam dinding sel, yang menghasilkan kerusakan sehingga akibatnya bakteri mati (Katzung, 1998).
Ampisilin dapat diberikan oral untuk mengobati infeksi saluran kemih oleh baktri koli (Jawetz, 1996). Secara farmakokinetik, jumlah ampisilin dan senyawa sejenisnya yang diabsorbsi pada pemberian oral dipengaruhi besarnya dosis dan ada tidaknya makanan dalam saluran cerna. Dengan dosis lebih kecil persentase yang diabsorpsi relatif lebih besar. Adanya makanan dalam saluran cerna akan menghambat absorpsi obat.
Reaksi alergi merupakan bentuk efek samping yang terserig dijumpai pada golongan penisilin. Reaksi alergi yang paling sering terjadi adalah kemerahan kulit. Ampisilin dapat menimbulkan nefropati yang ada hubungannya dengan kadar obat yang tinggi dalam serum (Ganiswara, 1995).
Asam Nalidiksat
Asam nalidiksat aadalah prototip golongan kuinolon lama yang mempunyai daya antibakteri yang baik terhadap kuman gram negative, tetapi eliminasinya melalui urin berlangsung terlalu cepat sehingga sulit dicapai kadar terapeutik dalam darah.
Kristal asam nalidiksat berupa bubuk putih atau kuning muda. Secara farmakokinetik, pada pemberian per oral, 96% obat akan diserap. Konsentrasinya dalam plasma kira-kira 20-50 Âµg/ml, tetapi 95% terikat dengan protein plasma. Dalam tubuh, sebagian dari obat ini akan diubah menjadi asam hidroksinalidiksat yang juga mempunyai daya antimikroba. Pemberian asam nalidiksat secara per oralkadang-kadang menimbulkan mual, muntah, ruam kulit dan urtikaria. Diare, demam, eosinofilia dan fotosensitivitas kadang-kadang timbul. Asam nalidiksat tidak boleh diberikan pada bayi kurang dari 3 bulan dan juga pada trimester pertama kehamilan. Daya antibakterinya akan berkurang bila diberikan bersama nitrofurantoin (Ganiswara, 1995).
Pengobatan simtomatis: untuk demam (antipiretik), nyeri perut (antispasmodik). Pemakaian obat antimotilitas (misalnya loperamide) bersifat kontroversi, dapat mengurangi diare, namun dapat menyebabkan penyakit lebih berat karena mengurangi pengeluaran bakteri, mempermudah invasi mukosa serta timbulnya toksik megakolon. Pada bentuk berat apabila tidak diobati dini angka kematian shigellosis tinggi. Infeksi oleh S. dysenteriae biasanya berat, penyembuhan lama. Infeksi S. flexneri angka kematian rendah
Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigellosis pasien diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan antibiotika diganti dengan jenis yang lain. Jika dengan pengobatan dengan antibiotika yang kedua pasien tidak menunjukkan perbaikan diagnosis harus ditinjau ulang dan dilakukan pemeriksaan mikroskop tinja, kultur, dan resistensi mikroorganisme.
Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dan tetrasiklin, hampir universal terjadi dan banyak shigella saat ini resisten terhadap ampisilin dan sulfametoksazol.
Situasi pada setiap wabah penyakit ini menimbulkan resistensi yangberbeda-beda, karena itu pada wabah sebaiknya disiapkan obat khusus yang hanya diberikan pada pasien-pasien yang gawat. Sangat ideal bila pada setiap kasus dilakukan uji resistensi terhadap kuman penyebabnya, tetapi tindakan ini mengakibatkan pengobatan dengan antibiotika jadi tertunda (Sudoyo, 2007).
2.2Shigella dysenteriae
2.2.1KLASIFIKASI
Divisio : Monomychota
Subdivisio :
Schizomycetea
Clasiss
:
Schizomycetes
Ordo
:
Eubacteriales
15
Familia
:
Enterobacteriaceae
Tribe
:
Eschericeae
Genus
:
Shigella
Species
:
Shigella dysenteriae
(Fajariah, 2009)
2.2.2 MORFOLOGI DAN IDENTIFIKASI 2.2.2.1 CIRI KHAS SHIGELLA
Shigella adalah batang gram-negatif yang ramping; bentuk kokobasil ditemukan pada biakan yang muda.
2.2.2.2 BIAKAN
Shigella bersifat fakultatif anaerob tetapi tumbuh paling baik secara aerob. Koloni bebrbentuk konveks, bulat, transparan dengan tepi yang utuh dan mencapai diameter sekitar 2 mm dalam 24 jam.
2.2.2.3 SIFAT PERTUMBUHAN
Semua Shigella memfermentasikan glukosa. Kecuali Shigella sonnei, shigella tidak memfermentasikan laktosa. Ketidakmampuannya memfermentasikan laktosa membedakan shigella pada medium diferensial. Shigella membentuk asam dari karbohidrat tetapi jarang menghasilkan gas. Organisme ini dapat dibagi menjadi organisme yang memfermentasikan manitol dan tidak memfermentasikan manitol.
2.2.3STRUKTUR ANTIGEN

Shigella memiliki struktur antigen yang kompleks. Terdapat banyak

tumpang tindih pada sifat serologik berbagai spesies, dan sebagian besar

organisme memiliki antigen O yang sama dengan basil enterik yang lain.

Antigen O somatic shigella adalah lipopolisakarida. Spesifitas

serologiknya bergantung pada polisakarida. ada lebih dari 40 serotipe.

Klasifikasi shigella berdasarkan pada karakteristik biokimiawi dan antigennya.
2.2.4
TOKSIN
2.2.4.1
ENDOTOKSIN

Pada autolysis, semua shigella melepaskan lipopolisakarida yang toksik.

Endotoksin ini kemungkinan yang menimbulkan iritasi pada dinding usus.
2.2.4.2EKSOTOKSIN Shigella dysenteriae
S.dysenteriae tipe I (basil Shiga) menghasilkan eksotoksin yang tidak tahan panas yang dapat mengenai usus dan sistem saraf pusat. Eksotoksin ini adalah protein yang bersifat antigenik (merangsang produksi antitoksin) dan bersifat mematikan untuk hewan percobaan. Sebagai enterotoksin, zat ini menimbulkan diare seperti verotoksinE. coli, mungkin melalui mekanisme yang sama. Pada manusia, enterotoksin juga menghambat absorbsi gula dan asam amino di usus halus. Sebagai “neurotoksin”, materi ini menyebabkan infeksi S. dysenteriae yang sangat berat dan fatal serta menimbulkan reaksi susunan saraf
pusat yang berat (misalnya meningismus, koma). Pasien yang menderita infeksi
Shigella flexneri atau Shigella sonnei membentuk antitoksin yang menetralisir eksotoksin S. dysenteriae secara in vitro. Aktivitas yang bersifat toksik ini berbeda dengan sifat invasiv shigella pada disentri. keduanya dapat bekerja berurutan, toksin menyebabkan diare awal yang tidak berdarah, encer, dan banyak kemudian invasi usus besar mengakibatkan disentri lanjut dengan feses yang disertai dengan darah dan nanah (Jawetz, 2008).
2.2.5MEKANISME RESISTENSI
Sebagian besar resistensi obat pada bakteri usus disebabkan oleh perluasan penularan plasmid resistensi pada berbagai genus. Pada saat ini banyak tempat di duniakira-kira separuh strain Shigella sp. resisten terhadap obat. Shigella dysenteriae type 1, resistan terhadap asam nalidiksat seperti pada co-trimoxazole(trimethoprim-sulfametoksazol) dan ampisilin (Munshi, 1987). Trimetoprim- sulfametoksazol agaknya masih efektif pada pemberian per oral, meskipun di beberapa tempat telah terjadi resistensi (Ganiswara, 1995). Trimethoprim, suatu trimetoksibenzilpirimidin, menghambat asam dihidrofolat reduktase bakteri kira- kira 50.000 kali lebih efisien daripada enzim yang sama dari sel mamalia. Asam dihidrofolat reduktase adalah enzim yang mengubah asam dihidrofolat menjadi asam tetrahirofolat, suatu langkah yang mengarah ke sintesis purin dan akhirnya menjadi DNA. Mikroorganisme yang kekurangan langkah yang dihambat oleh trimethoprim (dihidrofolat reduktase) dapat muncul dengan mutasi atau dengan transmisi secara konjugasi dari plasmid. Plasmid seperti ini yang menginduksi resistensi trimetropim terhadap bakteri koliform. (Katzung, 1998).
Sejak penisilin mulai digunakan jenis mikroba yang tadinya sensitif makin banyak yang menjadi resisten. Mekanisme resisten terhadap penisilin ialah:
1.Pembentukan enzim beta-laktamase misalnya pada kuman S. aureus, H. influenza, gonokokus dan berbagai batang gram negatif. Kebanyakan jenis betalaktamase dihasilkan oleh kuman melalui kendali genetik oleh plasmid.
2.Enzim autolisin kuman tidak bekerja sehingga timbul sifat toleran kuman terhadap obat.
3.Kuman tidak mempunyai dinding sel (misalnya mikoplasma).
4.Perubahan Penicillin Binding Protein (PBP) atau obat tidak dapat mencapai PBP.
Asam nalidiksat bekerja dengan menghambat enzim DNA girase bakteri
dan biasanya bersifat bakterisid terhadap kebanyakan kuman patogen penyebab infeksi saluran kemih. Resistensi terhadap asam nalidiksat tidak dipindahkan melalui plasmid (faktor R), tetapi dengan mekanisme lain. Resistensi terhadap asam nalidiksat telah menimbulkan masalah klinik (Ganiswara, 2007).
2.2.6 UJI DIAGNOSTIK LABORATORIUM 2.2.6.1 SPESIMEN
Feses segar, lendir, dan usapan rectum dapat digunakan untuk biakan. Ditemukan banyak leukosit pada feses dan kadang-kadang juga ditemukan beberapa sel darah merah pada pemeriksaan mikroskopik. Spesimen serum, apabila dibutuhkan, harus diambil dengan jarak 10 hari untuk melihat kenaikan titer antibodi aglutinasi.
2.2.6.2 BIAKAN
Bahan digoreskan pada medium diferensial (misalnya, agar MacConkey atau EMB) dan pada medium selektif (agar enteric Hektoen atau agar salmonella-shigella) yang menekan Enterobacteriaceae lain dan organisme gram positif. Koloni yang tidak berwarna (laktosa-negatif) diinokulasi pada agar triplet gula besi. Organisme yang tidak menghasilkan H2S, yang menghasilkan asam tetapi tidak menghasilkan gas pada pangkal dan bagian miring pada yang basa di medium agar triplet gula besi, dan tidak motil sebaiknya dilakukan pemeriksaan aglutinasi slidedengan antiserum spesifik shigella.
2.2.6.3 SEROLOGI
Orang normal sering memiliki aglutinin terhadap beberapa spesies shigella. Namun, serangkaian penentuan titer antibodi dapat menunjukkan peningkatan antibodi yang spesifik. Serologi tidak digunakan untuk mendiagnosis infeksi shigella (Jawetz, 2008).
2.2.7IMUNITAS
Infeksi diikuti oleh respons antibodi tipe spesifik. Injeksi shigella yang telah mati merangsang produksi antibodi di serum tetapi tidak dapat melindungi manusia dari infeksi. Antibodi IgA di usus mungkin penting dalam membatasi infeksi ulang; antibodi ini dapat distimulasi dengan pemberian strain shigella hidup yang telah dilemahkan melalui oral seperti vaksin percobaan. Antibodi serum terhadap antigen somatik shigella adalah IgM (Jawetz, 2008).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar